Klasifiksi
Babirusa yang ada di Sulawesi Tenggara
A.
Latar
Belakang
Babi adalah sejenis hewan
ungulata
yang bermoncong panjang dan berhidung lemper dan merupakan hewan yang aslinya
berasal dari Eurasia.
Kadang juga dirujuk sebagai khinzir. Babirusa merupakan salah satu spesies satwaliar yang memiliki keunikan baik
morfologi maupun habitat dan daerah penyebarannya, jenis
ini termasuk endemik Sulawesi
dan Maluku. Secara morfologi
keunikan babirusa yaitu rambut lebih tipis dan jarang dibandingkan dengan jenis
babi lainnya, pada satwa jantan ditandai adanya taring yang tersulut keluar dari kedua
sisi mulutnya.
Terdapat tiga subspesies atau spesies babirusa yang masih ada sampai dengan saat ini (Groves, 2001; Groves and Meijaard,
2002). Satu spesies terdapat di Pulau Buru, di sebelah timur Sulawesi, yaitu Babyrousa babyrussa
babyrussa. Di Kepulauan Togian sulawesi
tengah terdapat babirusa togian (Babyrousa
babyrussa togeanensis) endemik
pada empat pulau yaitu: Malenge, Talatakoh, Togean dan Batudaka,. Selanjutnya babirusa Sulawesi (Babyrousa
babyrussa celebensis) yang terdapat di Sulawesi Utara,
Sulawesi Tengah, Provinsi Sulawesi Selatan bagian utara, dan Sulawesi Tenggara.
Sedangkan Babyrousa babyrussa bolabatuensis, subspesies babirusa yang terdapat di bagian
selatan Provinsi Sulawesi Selatan dinyatakan telah punah.
Sampai saat ini belum
ada gambaran lengkap mengenai populasi babirusa di habitat aslinya. Kelestarian jenis ini mengalami ancaman serius akibat berkurang dan atau kerusakan habitatnya maupun karena perburuan
liar. Dimana secara tradisional babirusa masih sering diburu
oleh masyarakat sekitar hutan sebagai sumber protein hewani. Karena populasinya terus menurun IUCN (2008),
memasukkan spesies babirusa sebagai berikut: babirusa Pulau Buru (Babyrousa babyrussa babyrussa)
vulnerable dengan katagori B1ab (iii); babirusa Togian (Babyrousa babyrussa togeanensis) endangered dengan katagori B1ab (iii,v); C2a(i); dan babirusa Sulawesi (Babyrousa babyrussa celebensis)
vulnerable dengan
katagori A2cd; C1 (IUCN
2010). Babirusa
merupakan jenis yang termasuk dalam CITES Appendix I sejak tahun 1982, dan
dilindungi oleh Undang-undang sejak
tahun 1931
B.
Rumusan
Masalah
Dari
latar belakang diatas dapat ditarik rumusan masalah yaitu untuk mengetahui Taksonomi/marfologi,
penyebaran populasi, dan prilaku bereproduksi serta habitat babirusa yang ada
di Sulawesi Tenggara
PEMBAHASAN
A.
Klasifikasi
Babirusa yang ada di Sulawesi Tenggara
1.
Taksonomi
a.
Taxonomy dan Morfology
Babirusa termasuk ke dalam famili Suidae dan salah satu
anggota famili yang tertua diwakili oleh subfamily Babyrousinae yang dipisahkan
dari warthog cabang dari famili Suidae (Subfamilii Phacochoerini selama zaman
Oligocene atau awal Miocene. Babirusa hanya ada satu spesies dalam sub-famili
babyrousinae (Ordo Artiodactyla, Sub Ordo Suiformes, famili Suidae). Hasil
studi menunjukkan bahwa terdapat tiga sub spesies (Groves 1980) atau tiga spesies
(Groves and Meijaard 2002) babirusa yang dapat dibedakan berdasarkan geografi,
ukuran tubuh, jumlah rambut pada tubuh dan bentuk dari gigi taring pada jantan.
Menurut Groves (1980), terdapat empat subspesies babirusa yaitu Babyrousa
babyrussa babyrussa terdapat di Pulau Buru, Babyrousa babyrussa celebensis
menghuni daratan utama Sulawesi (Sulawesi minland), Babyrousa babyrussa
togeanensis terdapat di Kepulauan Togean, dan Babyrousa babyrussa
bolabatuensis, yang dinyatakan sudah punah. Groves (2001) dan Meijaard dan
Groves (2002) telah mengusulkan keempat subspesies tersebut menjadi spesies
yang berbeda.
Karena itu, perlindungan terhadap tiga spesies babirusa yang
mewakili keragaman morfologi, ekologi dan genetik menjadi dasar dalam
konservasi babirusa di habitat alaminya.
Salah satu ciri penting dari babirusa adalah jantannya memiliki taring
yang tersulut keluar melalui kedua sisi mulutnya dan melingkar ke atas dan
melengkung ke belakang. Taring ini berfungsi sebagai senjata. Betina tidak
memiliki taring yang tersulut keluar mulut. Warna tubuhnya putih keabu-abuan.
Babirusa jantan dan betina dapat dibedakan dengan melihat ada tidaknya taring,
karena babirusa betina tidak memiliki taring yang tersulut ke luar dari kedua
sisi mulutnya. Ukuran tubuh babirusa jantan juga relatif lebih besar bahkan
terlihat lebih besar dari ukuran tubuh babi jenis lainnya. Bentuk tubuh lebih
panjang, dengan kaki depan lebih pendek dari kaki belakang.
Babirusa
Jantan dewasa
Salah satu ciri penting babirusa pada
satwa jantan memiliki taring yang tersulut keluar melalui kedua sisi mulutnya
dan melingkar ke atas dan melengkung ke belakang. Taring ini berfungsi sebagai
senjata. Babirusa jantan dan betina dapat dibedakan
dengan melihat ada tidaknya taring, karena babirusa betina tidak memiliki
taring yang tersulut ke luar dari kedua sisi mulutnya dan warna tubuhnya
putih keabu-abuan. Ukuran tubuh babirusa jantan juga relatif lebih besar
bahkan terlihat lebih besar dari ukuran tubuh babi jenis lainnya. Bentuk tubuh lebih panjang, dengan kaki depan
lebih pendek dari kaki belakang.
1.
Penyebaran
dan Populasi
Babirusa merupakan hewan endemik di bagian Sulawesi dan
beberapa pulau kecil di sekitarnya yaitu Togian, Sula dan Buru. Keberadaan
babirusa di dua lokasi yang terakhir diperkirakan melalui introduksi (Groves,
1980). Penyebaran babirusa mengalami penyempitan habitat yang sangat tajam.
Sebagai contoh, di Sulawesi bagian utara, satwa ini hanya dapat ditemukan di
bagian barat di kawasan TN Bogani-Nani Wartabone dan di SM Nantu-Boliyohuto.
Populasi babirusa juga ditemukan di sebelah barat pada hutan-hutan yang masih
tersisa di Randangan. Demikian pula di daerah Buol Toli-Toli yang merupakan
batas paling barat dari arm Sulawesi.
Di Sulawesi Tengah babirusaa terdapat di TN Lore Lindu, CA
Morowali dan di daerah Luwuk dan Balantak. Di Sulawesi Selatan, babirusa dapat
dijumpai di bagian utara provinsi ini di kawasan hutan yang berbatasan dengan
Sulawesi Tengah. Sedangkan di Sulawesi Tenggara tidak banyak yang diketahui
keberadaannya.
Di Kepulauan Togean: babirusa Togean (Babyrousa babyrussa togeanensis) endemik pada empat pulau yaitu Pulau Malenge, Talatakoh, Togean dan Batudaka di Kepulauan Togean Sulawesi Tengah. Sedangkan di Pulau Una-una, Waleako dan Waleabahi belum pernah dilakukan observasi. Belum ada gambaran menyeluruh mengenai populasi babirusa in-situ. Clayton (1997) menyatakan bahwa populasi babirusa insitu di seluruh Sulawesi tidak lebih dari 5000 ekor. Di SM Nantu, Gorontalo dengan luas 32.000 ha, diperkirakan terdapat 500 ekor babirusa, namun jumlah ini terus menurun karena tingginya tingkat kerusakan hutan dan perburuan (Clayton 1996). Populasi babirusa dari waktu ke waktu terus menurun baik karena berkurang dan/atau kerusakan habitatnya maupun karena perburuan liar sehingga kelestariannya terus mengalami ancaman yang serius. Secara tradisional babirusa masih sering diburu oleh masyarakat sekitar hutan sebagai sumber protein hewani.
Di Kepulauan Togean: babirusa Togean (Babyrousa babyrussa togeanensis) endemik pada empat pulau yaitu Pulau Malenge, Talatakoh, Togean dan Batudaka di Kepulauan Togean Sulawesi Tengah. Sedangkan di Pulau Una-una, Waleako dan Waleabahi belum pernah dilakukan observasi. Belum ada gambaran menyeluruh mengenai populasi babirusa in-situ. Clayton (1997) menyatakan bahwa populasi babirusa insitu di seluruh Sulawesi tidak lebih dari 5000 ekor. Di SM Nantu, Gorontalo dengan luas 32.000 ha, diperkirakan terdapat 500 ekor babirusa, namun jumlah ini terus menurun karena tingginya tingkat kerusakan hutan dan perburuan (Clayton 1996). Populasi babirusa dari waktu ke waktu terus menurun baik karena berkurang dan/atau kerusakan habitatnya maupun karena perburuan liar sehingga kelestariannya terus mengalami ancaman yang serius. Secara tradisional babirusa masih sering diburu oleh masyarakat sekitar hutan sebagai sumber protein hewani.
2.
Habitat
Habitat babirusa adalah hutan hujan dataran rendah. Satwa
ini menyukai kawasan hutan dimana terdapat aliran sungai, sumber air, rawa, dan
cerukan-cerukan air yang memungkinkannya mendapatkan air minum dan berkubang.
Satwa ini mengunjungi tempat-tempat air dan tempat mengasin (salt-lick) secara
teratur untuk mendapatkan garam-garam mineral untuk membantu pencernaannya
Clayton (1996).
Habitat babirusa banyak ditemukan di hutan hujan tropis. Dalam pengamatan yang pernah dilakukan di Pulau Buru, diketahui bahwa babirusa sering menempati daerah bukit dan pegunungan batu karang bahkan dengan tebing terjal sekalipun. Babirusa terlihat tidur di atas batu atau tiang-tiang batu yang tersusun secara alamiah, dan tidak pernah ditemukan tidur di atas tumpukan dedaunan. Babirusa sering terlihat mandi di kubangan yang airnya agak bersih dan tidak becek, dan pada musim panas, sering terlihat berendam di sungai.
Habitat babirusa banyak ditemukan di hutan hujan tropis. Dalam pengamatan yang pernah dilakukan di Pulau Buru, diketahui bahwa babirusa sering menempati daerah bukit dan pegunungan batu karang bahkan dengan tebing terjal sekalipun. Babirusa terlihat tidur di atas batu atau tiang-tiang batu yang tersusun secara alamiah, dan tidak pernah ditemukan tidur di atas tumpukan dedaunan. Babirusa sering terlihat mandi di kubangan yang airnya agak bersih dan tidak becek, dan pada musim panas, sering terlihat berendam di sungai.
3.
Pakan
Makanan utama babirusa
adalah berbagai jenis buah (frugivorous),
babirusa menyukai jenis umbi-umbian seperti
kilo, tunas globa dan rebung, juga jamur dan buah-buahan seperti dongi (Dillenia ochreata), rao (Dracontomelon rao) dan D. Mangiferum. Salah
satu makanan kesukaan babirusa adalah buah pangi (Pangium edule). Taring
dan giginya yang kuat dapat memecah jenis kacang yang sangat keras secara mudah
(Leus and Macdonald, unpublished observations).
Dimana biji-bijian seperti kenari (Canarium (Burs.)), oaks (Lithocarpus
(Burs.)) and chestnuts (Castanopsis (Burs.)) tersedia juga di hutan
alami di Sulawesi (Leus, 1996)[1][10].
Hasil penelitian menunjukkan saat suatu hutan yang terdegradasi dan
tidak ada tumbuhan yang menghasilkan biji-bijian sebagai pakan babirusa, maka
tidak akan dapat ditemukan babirusa di wilayah tersebut. Beberapa dilaporkan
bahwa dalam suatu kawasan, pakan yang tersedia bagi babirusa diperkirakan
sebanyak 20% dari total hidupan yang ada.
Berdasarkan penelitian
menunjukkan bahwa kebiasaan berkubang babirusa yang dimaksudkan
untuk mendapat mineral (mengasin). Sama
seperti babi pada umumnya, babirusa bersifat omnivora, selain
mengkonsumsi tumbuhan, satwa ini juga
mengkonsumsi satwa kecil lainnya
(diantaranya reptil kecil, ikan, burung dan serangga) dalam jumlah yang kecil. Kadangkala
babirusa terlihat mengais pohon-pohon tumbang yang telah membusuk, kemungkinan untuk mendapatkan
sumber protein hewani berupa ulat atau cacing. ataupun makan
binatang-binatang kecil (larva, cacing atau ulat) sebagai sumber protein hewani
(Clayton, 1996). Pada
lembaga konservasi babirusa dewasa juga memangsa mamalia kecil dan burung.
4.
Perilaku
dan Reproduksi
Babirusa tergolong ke dalam satwa yang
pemalu, namun dapat menjadi agresif jika diganggu. Babirusa biasa hidup dalam kelompok kecil dengan seekor pejantan yang
paling kuat sebagai pemimpinnya (Clayton, 1996). Babirusa
juga sering terlihat berjalan sendiri atau dalam kelompok kecil dalam ikatan
yang kuat sehingga mampu mempertahankan diri dari predator. Induk
babirusa membuat sarang untuk anaknya dari rerumputan. Apabila berjalan dalam
kelompok, babirusa selalu mengeluarkan suara yang teratur dan berbalasan, kecil
dan panjang, yakni suirii.
Babirusa tidak pernah
terlihat tidur di atas tumpukan dedaunan.
Biasa mandi di kubangan yang airnya agak
bersih dan tidak becek. Pada musim panas, sering terlihat berendam di sungai. Babirusa aktif
siang dan malam hari (Clayton, 1996).
Perilaku babirusa yang sering diamati diantaranya perkelahian sesama
babirusa jantan saat memperebutkan betina, masa percumbuan, dan penandaan
teritori (scent-marking). Clayton menyatakan bahwa taring babirusa
jantan berfungsi sebagai alat sex sekunder diapakai oleh individu jantan dalam
perkelahian.
Wilayah jelajah babirusa menggunakan minimum convex polygon berkisar 0.8-12.8
km2 (Clayton, 1996). Babirusa hidup berkelompok 6-7 ekor, dengan
sistem sosial matrilineal, yaitu induk
betina merupakan pusat pergerakan kelompok.
Sedangkan jantan dewasa hidup soliter, berpasangan hanya saat musim
kawin (Patry et al., 1995; Clayton,
1996).
Informasi
yang didapatkan dari lapangan maupun hasil pengamatan di lembaga konservasi,
diketahui babirusa sebagai jenis yang melakukan kegiatan sosial (Selmier, 1983;
Patry et al., 1995; Clayton and MacDonald, 2006). Sejumlah grup
yang terdiri dari kurang lebih 6-7 individu berkumpul di sekitar daerah yang
basah berair, melakukan kegiatan berkubang dan mengasin. Jarang ditemui
kumpulan dari grup yang berbeda bergabung pada tempat mengasin yang sama.
Kebanyakan babirusa soliter (kurang lebih sekitar 40%) merupakan jantan
dewasa. Individu jantan dewasa biasanya bersama dengan individu betina
dewasa, tidak pernah kelihatan ada dua betina dewasa kecuali dengan
anaknya. Dua atau tiga jantan dewasa
jarang ditemui bersamaan termasuk belum ada laporan beberapa jantan muda dalam
suatu grup. Betina dewasa biasanya kelihatan bersama dengan jenis dewasa
lainnya, namun lebih sering bersama dengan anaknya. Jumlah betina berkisar 60%
dari populasi dan 40%nya bayi dan anak.
Terkait Reproduksi, babirusa jantan maupun betina mencapai dewasa kelamin
(sexual maturity) pada usia 5-10
bulan, namun ada juga yang melaporkan pada usia sekitar 548 hari, dengan masa
hidup maksimum (maximum longevity)
mencapai rata-rata usia 23 tahun (Macdonald, 2008; Macdonald et al., 2008) dengan kematian normal
0,8%. Jumlah anak yang dilahirkan seekor babirusa betina setiap kali melahirkan
(litter size) adalah rata-rata 1-2
ekor dengan berat anak pada waktu lahir sekitar 0.715 kg (1.573 lbs). Masa
kebuntingan berkisar 155 - 158 hari. Lama anak disusui
sekitar 1 bulan, namun ada yang melaporkan lama masa anak bersama induknya
sampai 213 hari. dan setelah itu anak
disapih untuk mencari makanan sendiri di hutan.
Seekor induk betina hanya melahirkan satu kali dalam setahun, reproduktif
selama 7 tahun setelah memasuki usia produktif.
5.
Ancaman
Perburuan liar merupakan
ancaman terbesar bagi kelestarian populasi babirusa. Pada tahun 1860, A.R. Wallace dapat melihat
babirusa dekat Bitung dan di sekitar Manado, tetapi sekarang seseorang harus
berjalan jauh ratusan kilometer masuk ke dalam hutan untuk melihat satwa langka
ini.
Walaupun telah dilindungi
undang-undang, kematian babirusa akibat perburuan liar masih tinggi disebabkan oleh masih lemahnya
penegakan hukum, tingginya perburuan dan perdagangan liar (Clayton et
al., 1996, Clayton and Milner-Gulland, 2000
Lee et al., 2005), deforestasi dan degradasi
habitat, serta sifat biologi dimana jumlah anak yang sedikit per kelahiran
serta jumlah predator yang semakin meningkat (Akbar et al., 2007, Ito et al.,
2005, Ito et al., 2008). Meningkatnya
populasi ular phiton dan musang, mengakibatkan populasi Babirusi semakin
menurun. Diduga, 20% dari total pupulasi menjadi mangsa bagi predator, yaitu
Phyton dan Musang, namun hal ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
Alamendah. 2010. Babirusa Hewan Endemik Sulawesi Indonesia. http://alamendah.org/2010/03/17/daftar-binatang-langka-indonesia/
Anonym.
2013. Babirusa. http://celebio.org/beranda/babirusa/
Elsynosa, F. 2012. Babirusa, Satwa Aneh Dari Sulawesi. http://id.voi.co.id/voi- warna-warni/2005-babirusa-satwa-aneh-dari-sulawesi.
M.
A. Haris. 2012. Ekologi dan Konservasi Babirusa (Babyrousa babyrussa). Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan
IPB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar