Sabtu, 24 Agustus 2013

Klasifiksi Babirusa yang ada di Sulawesi Tenggara


Klasifiksi Babirusa yang ada di Sulawesi Tenggara



A.    Latar Belakang
Babi adalah sejenis hewan ungulata yang bermoncong panjang dan berhidung lemper dan merupakan hewan yang aslinya berasal dari Eurasia. Kadang juga dirujuk sebagai khinzir. Babirusa merupakan salah satu spesies satwaliar yang memiliki keunikan baik morfologi maupun habitat dan daerah penyebarannya, jenis ini termasuk endemik Sulawesi dan Maluku. Secara morfologi keunikan babirusa yaitu rambut lebih tipis dan jarang dibandingkan dengan jenis babi lainnya, pada satwa jantan ditandai adanya taring yang tersulut keluar dari kedua sisi mulutnya.
Terdapat tiga subspesies atau spesies babirusa yang masih ada sampai dengan saat ini (Groves, 2001; Groves and Meijaard, 2002). Satu spesies terdapat di  Pulau Buru, di sebelah timur Sulawesi, yaitu Babyrousa babyrussa babyrussa. Di Kepulauan Togian sulawesi tengah terdapat babirusa togian (Babyrousa babyrussa togeanensis) endemik pada empat pulau yaitu: Malenge, Talatakoh, Togean dan Batudaka,. Selanjutnya babirusa Sulawesi (Babyrousa babyrussa celebensis) yang terdapat di Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Provinsi Sulawesi Selatan bagian utara, dan Sulawesi Tenggara. Sedangkan Babyrousa babyrussa bolabatuensis, subspesies babirusa yang terdapat di bagian selatan Provinsi Sulawesi Selatan dinyatakan telah punah.
Sampai saat ini belum  ada gambaran lengkap mengenai populasi babirusa di habitat aslinya. Kelestarian jenis ini mengalami ancaman serius akibat berkurang dan atau kerusakan habitatnya maupun karena perburuan liar. Dimana secara tradisional babirusa masih sering diburu oleh masyarakat sekitar hutan sebagai sumber protein hewani. Karena populasinya terus menurun IUCN (2008), memasukkan spesies babirusa sebagai berikut: babirusa Pulau Buru (Babyrousa babyrussa babyrussa) vulnerable dengan katagori   B1ab (iii);  babirusa Togian (Babyrousa babyrussa togeanensis) endangered dengan katagori B1ab (iii,v); C2a(i);  dan babirusa Sulawesi (Babyrousa babyrussa celebensis) vulnerable  dengan katagori  A2cd; C1 (IUCN 2010).  Babirusa merupakan jenis yang termasuk dalam CITES Appendix I sejak tahun 1982, dan dilindungi oleh Undang-undang sejak tahun 1931

B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat ditarik rumusan masalah yaitu untuk mengetahui Taksonomi/marfologi, penyebaran populasi, dan prilaku bereproduksi serta habitat babirusa yang ada di Sulawesi Tenggara
 

PEMBAHASAN

A.    Klasifikasi Babirusa yang ada di Sulawesi Tenggara





1.      Taksonomi
a.       Taxonomy dan Morfology
Babirusa termasuk ke dalam famili Suidae dan salah satu anggota famili yang tertua diwakili oleh subfamily Babyrousinae yang dipisahkan dari warthog cabang dari famili Suidae (Subfamilii Phacochoerini selama zaman Oligocene atau awal Miocene. Babirusa hanya ada satu spesies dalam sub-famili babyrousinae (Ordo Artiodactyla, Sub Ordo Suiformes, famili Suidae). Hasil studi menunjukkan bahwa terdapat tiga sub spesies (Groves 1980) atau tiga spesies (Groves and Meijaard 2002) babirusa yang dapat dibedakan berdasarkan geografi, ukuran tubuh, jumlah rambut pada tubuh dan bentuk dari gigi taring pada jantan. Menurut Groves (1980), terdapat empat subspesies babirusa yaitu Babyrousa babyrussa babyrussa terdapat di Pulau Buru, Babyrousa babyrussa celebensis menghuni daratan utama Sulawesi (Sulawesi minland), Babyrousa babyrussa togeanensis terdapat di Kepulauan Togean, dan Babyrousa babyrussa bolabatuensis, yang dinyatakan sudah punah. Groves (2001) dan Meijaard dan Groves (2002) telah mengusulkan keempat subspesies tersebut menjadi spesies yang berbeda.
Karena itu, perlindungan terhadap tiga spesies babirusa yang mewakili keragaman morfologi, ekologi dan genetik menjadi dasar dalam konservasi babirusa di habitat alaminya.  Salah satu ciri penting dari babirusa adalah jantannya memiliki taring yang tersulut keluar melalui kedua sisi mulutnya dan melingkar ke atas dan melengkung ke belakang. Taring ini berfungsi sebagai senjata. Betina tidak memiliki taring yang tersulut keluar mulut. Warna tubuhnya putih keabu-abuan. Babirusa jantan dan betina dapat dibedakan dengan melihat ada tidaknya taring, karena babirusa betina tidak memiliki taring yang tersulut ke luar dari kedua sisi mulutnya. Ukuran tubuh babirusa jantan juga relatif lebih besar bahkan terlihat lebih besar dari ukuran tubuh babi jenis lainnya. Bentuk tubuh lebih panjang, dengan kaki depan lebih pendek dari kaki belakang.



 

Babirusa Jantan dewasa



Salah satu ciri penting babirusa pada satwa jantan memiliki taring yang tersulut keluar melalui kedua sisi mulutnya dan melingkar ke atas dan melengkung ke belakang. Taring ini berfungsi sebagai senjata. Babirusa jantan dan betina dapat dibedakan dengan melihat ada tidaknya taring, karena babirusa betina tidak memiliki taring yang tersulut ke luar dari kedua sisi mulutnya dan warna tubuhnya putih keabu-abuan.  Ukuran tubuh babirusa jantan juga relatif lebih besar bahkan terlihat lebih besar dari ukuran tubuh babi jenis lainnya.  Bentuk tubuh lebih panjang, dengan kaki depan lebih pendek dari kaki belakang.

1.      Penyebaran dan Populasi
Babirusa merupakan hewan endemik di bagian Sulawesi dan beberapa pulau kecil di sekitarnya yaitu Togian, Sula dan Buru. Keberadaan babirusa di dua lokasi yang terakhir diperkirakan melalui introduksi (Groves, 1980). Penyebaran babirusa mengalami penyempitan habitat yang sangat tajam. Sebagai contoh, di Sulawesi bagian utara, satwa ini hanya dapat ditemukan di bagian barat di kawasan TN Bogani-Nani Wartabone dan di SM Nantu-Boliyohuto. Populasi babirusa juga ditemukan di sebelah barat pada hutan-hutan yang masih tersisa di Randangan. Demikian pula di daerah Buol Toli-Toli yang merupakan batas paling barat dari arm Sulawesi.
Di Sulawesi Tengah babirusaa terdapat di TN Lore Lindu, CA Morowali dan di daerah Luwuk dan Balantak. Di Sulawesi Selatan, babirusa dapat dijumpai di bagian utara provinsi ini di kawasan hutan yang berbatasan dengan Sulawesi Tengah. Sedangkan di Sulawesi Tenggara tidak banyak yang diketahui keberadaannya.
Di Kepulauan Togean: babirusa Togean (Babyrousa babyrussa togeanensis) endemik pada empat pulau yaitu Pulau Malenge, Talatakoh, Togean dan Batudaka di Kepulauan Togean Sulawesi Tengah. Sedangkan di Pulau Una-una, Waleako dan Waleabahi belum pernah dilakukan observasi. Belum ada gambaran menyeluruh mengenai populasi babirusa in-situ. Clayton (1997) menyatakan bahwa populasi babirusa insitu di seluruh Sulawesi tidak lebih dari 5000 ekor. Di SM Nantu, Gorontalo dengan luas 32.000 ha, diperkirakan terdapat 500 ekor babirusa, namun jumlah ini terus menurun karena tingginya tingkat kerusakan hutan dan perburuan (Clayton 1996). Populasi babirusa dari waktu ke waktu terus menurun baik karena berkurang dan/atau kerusakan habitatnya maupun karena perburuan liar sehingga kelestariannya terus mengalami ancaman yang serius. Secara tradisional babirusa masih sering diburu oleh masyarakat sekitar hutan sebagai sumber protein hewani.

2.      Habitat
Habitat babirusa adalah hutan hujan dataran rendah. Satwa ini menyukai kawasan hutan dimana terdapat aliran sungai, sumber air, rawa, dan cerukan-cerukan air yang memungkinkannya mendapatkan air minum dan berkubang. Satwa ini mengunjungi tempat-tempat air dan tempat mengasin (salt-lick) secara teratur untuk mendapatkan garam-garam mineral untuk membantu pencernaannya Clayton (1996).
Habitat babirusa banyak ditemukan di hutan hujan tropis. Dalam pengamatan yang pernah dilakukan di Pulau Buru, diketahui bahwa babirusa sering menempati daerah bukit dan pegunungan batu karang bahkan dengan tebing terjal sekalipun. Babirusa terlihat tidur di atas batu atau tiang-tiang batu yang tersusun secara alamiah, dan tidak pernah ditemukan tidur di atas tumpukan dedaunan. Babirusa sering terlihat mandi di kubangan yang airnya agak bersih dan tidak becek, dan pada musim panas, sering terlihat berendam di sungai.

3.      Pakan

Makanan utama babirusa adalah berbagai jenis buah (frugivorous), babirusa menyukai jenis umbi-umbian seperti kilo, tunas globa dan rebung, juga jamur dan buah-buahan seperti dongi (Dillenia ochreata), rao (Dracontomelon rao) dan D. Mangiferum. Salah satu makanan kesukaan babirusa adalah buah pangi (Pangium edule). Taring dan giginya yang kuat dapat memecah jenis kacang yang sangat keras secara mudah (Leus and Macdonald, unpublished observations).  Dimana biji-bijian seperti kenari (Canarium (Burs.)), oaks (Lithocarpus (Burs.)) and chestnuts (Castanopsis (Burs.)) tersedia juga di hutan alami di Sulawesi (Leus, 1996)[1][10].  Hasil penelitian menunjukkan saat suatu hutan yang terdegradasi dan tidak ada tumbuhan yang menghasilkan biji-bijian sebagai pakan babirusa, maka tidak akan dapat ditemukan babirusa di wilayah tersebut. Beberapa dilaporkan bahwa dalam suatu kawasan, pakan yang tersedia bagi babirusa diperkirakan sebanyak 20% dari total hidupan yang ada.
Berdasarkan penelitian menunjukkan bahwa kebiasaan berkubang babirusa yang dimaksudkan untuk mendapat mineral (mengasin).  Sama seperti babi pada umumnya, babirusa bersifat omnivora, selain mengkonsumsi tumbuhan, satwa ini juga mengkonsumsi satwa kecil lainnya (diantaranya reptil kecil, ikan, burung dan serangga) dalam jumlah yang kecil.  Kadangkala babirusa terlihat mengais pohon-pohon tumbang yang telah membusuk, kemungkinan untuk mendapatkan sumber protein hewani berupa ulat atau cacing. ataupun makan binatang-binatang kecil (larva, cacing atau ulat) sebagai sumber protein hewani (Clayton, 1996).  Pada lembaga konservasi babirusa dewasa juga memangsa mamalia kecil dan burung.

4.      Perilaku dan Reproduksi
Babirusa tergolong ke dalam satwa yang pemalu, namun dapat menjadi agresif jika diganggu. Babirusa biasa hidup dalam kelompok kecil dengan seekor pejantan yang paling kuat sebagai pemimpinnya (Clayton, 1996).  Babirusa juga sering terlihat berjalan sendiri atau dalam kelompok kecil dalam ikatan yang kuat sehingga mampu mempertahankan diri dari predator. Induk babirusa membuat sarang untuk anaknya dari rerumputan. Apabila berjalan dalam kelompok, babirusa selalu mengeluarkan suara yang teratur dan berbalasan, kecil dan panjang, yakni suirii.
Babirusa tidak pernah terlihat tidur di atas tumpukan dedaunan.  Biasa mandi di kubangan yang airnya agak bersih dan tidak becek. Pada musim panas, sering terlihat berendam di sungai. Babirusa aktif siang dan malam hari (Clayton, 1996).  Perilaku babirusa yang sering diamati diantaranya perkelahian sesama babirusa jantan saat memperebutkan betina, masa percumbuan, dan penandaan teritori (scent-marking).  Clayton menyatakan bahwa taring babirusa jantan berfungsi sebagai alat sex sekunder diapakai oleh individu jantan dalam perkelahian.
Wilayah jelajah babirusa menggunakan minimum convex polygon berkisar 0.8-12.8 km2 (Clayton, 1996). Babirusa hidup berkelompok 6-7 ekor, dengan sistem sosial  matrilineal, yaitu induk betina merupakan pusat pergerakan kelompok.  Sedangkan jantan dewasa hidup soliter, berpasangan hanya saat musim kawin (Patry et al., 1995; Clayton, 1996).
Informasi yang didapatkan dari lapangan maupun hasil pengamatan di lembaga konservasi, diketahui babirusa sebagai jenis yang melakukan kegiatan sosial (Selmier, 1983; Patry et al., 1995; Clayton and MacDonald, 2006).  Sejumlah grup yang terdiri dari kurang lebih 6-7 individu berkumpul di sekitar daerah yang basah berair, melakukan kegiatan berkubang dan mengasin.  Jarang ditemui kumpulan dari grup yang berbeda bergabung pada tempat mengasin yang sama. Kebanyakan babirusa soliter (kurang lebih sekitar 40%) merupakan jantan dewasa. Individu jantan dewasa biasanya bersama dengan individu betina dewasa, tidak pernah kelihatan ada dua betina dewasa kecuali dengan anaknya.  Dua atau tiga jantan dewasa jarang ditemui bersamaan termasuk belum ada laporan beberapa jantan muda dalam suatu grup.  Betina dewasa biasanya kelihatan bersama dengan jenis dewasa lainnya, namun lebih sering bersama dengan anaknya. Jumlah betina berkisar 60% dari populasi dan 40%nya bayi dan anak.
Terkait Reproduksi, babirusa  jantan maupun betina mencapai dewasa kelamin (sexual maturity) pada usia 5-10 bulan, namun ada juga yang melaporkan pada usia sekitar 548 hari, dengan masa hidup maksimum (maximum longevity) mencapai rata-rata usia 23 tahun (Macdonald, 2008; Macdonald et al., 2008) dengan kematian normal 0,8%. Jumlah anak yang dilahirkan seekor babirusa betina setiap kali melahirkan (litter size) adalah rata-rata 1-2 ekor dengan berat anak pada waktu lahir sekitar 0.715 kg (1.573 lbs). Masa kebuntingan berkisar 155 - 158 hari. Lama anak disusui sekitar 1 bulan, namun ada yang melaporkan lama masa anak bersama induknya sampai 213 hari. dan  setelah itu anak disapih untuk mencari makanan sendiri di hutan. Seekor induk betina hanya melahirkan satu kali dalam setahun, reproduktif selama 7 tahun setelah memasuki usia produktif.

5.      Ancaman
Perburuan liar merupakan ancaman terbesar bagi kelestarian populasi babirusa.  Pada tahun 1860, A.R. Wallace dapat melihat babirusa dekat Bitung dan di sekitar Manado, tetapi sekarang seseorang harus berjalan jauh ratusan kilometer masuk ke dalam hutan untuk melihat satwa langka ini.
Walaupun telah dilindungi undang-undang, kematian babirusa akibat perburuan liar masih  tinggi disebabkan oleh masih lemahnya penegakan hukum, tingginya perburuan dan perdagangan liar  (Clayton et al., 1996, Clayton and Milner-Gulland, 2000 Lee et al., 2005), deforestasi dan degradasi habitat, serta sifat biologi dimana jumlah anak yang sedikit per kelahiran serta jumlah predator yang semakin meningkat (Akbar et al., 2007, Ito et al., 2005, Ito et al., 2008). Meningkatnya populasi ular phiton dan musang, mengakibatkan populasi Babirusi semakin menurun. Diduga, 20% dari total pupulasi menjadi mangsa bagi predator, yaitu Phyton dan Musang, namun hal ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA

 

Alamendah. 2010. Babirusa Hewan Endemik Sulawesi Indonesia.   http://alamendah.org/2010/03/17/daftar-binatang-langka-indonesia/


Anonym. 2013. Babirusa. http://celebio.org/beranda/babirusa/

Elsynosa, F.  2012. Babirusa, Satwa Aneh Dari Sulawesi. http://id.voi.co.id/voi-     warna-warni/2005-babirusa-satwa-aneh-dari-sulawesi.

M. A. Haris. 2012. Ekologi dan Konservasi Babirusa (Babyrousa babyrussa).         Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan IPB.

 

Paino, S. 2012. Perburuan Babirusa di Sulawesi semakin Marak.             http://www.mongabay.co.id/2012/12/01/memasuki-desember-perburuan-babi-        rusa-sulawesi-makin-marak/ [01 juni 2013].

 

Siswiyanti, Y. 2011. Strategi Konservasi Babirusa Sulawesi (Babyrousa babyrussa            celebensis). Sekolah Pascasarjana IPB.





Tidak ada komentar: