faktor-faktor
yang mempengaruhi kualitas karkas sebelum pemotongan dan sesudah pemotongan
1.1.
Latar Belakang
Karkas adalah
bagian badan ternak yang telah disembelih, dikuliti, dikeluarkan isi perutnya
dan dipotong kaki bagian bawah serta kepalanya. Untuk mendapatkan daging
(Anonima, 2009).
Kualitas karkas
dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah pemotongan. Faktor
sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging antara lain genetik,
spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan termasuk bahan aditif
(hormon, antibiotik atau mineral), dan stress. Faktor setelah pemotongan yang
mempengaruhi kualitas daging antara lain meliputi metode pelayuan, stimulasi
listrik, metode pemasakan, pH karkas dan daging, bahan tambahan termasuk enzim
pengempuk daging, hormon dan antibiotik, lemak intramuskuler atau marbling,
metode penyimpanan dan preservasi, macam otot daging dan lokasi pada suatu otot
daging.
Pada dasarnya,
kualitas karkas adalah nilai karkas yang dihasilkan oleh ternak relatif
terhadap suatu kondisi pemasaran. Faktor yang menentukan nilai karkas meliputi
berat karkas, jumlah daging yang dihasilkan dan kualitas daging dari karkas
yang bersangkutan. Nilai karkas dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin atau
tipe ternak yang menghasilkan karkas, umur atau kedewasaan ternak, dan jumlah
lemak intramuskular atau marbling didalam otot. Faktor nilai karkas dapat
diukur secara subyektif, misalnya dengan pengujian organoleptik atau metode
panel. Disamping kualitas (nilai) karkas, juga dikenal kualitas hasil, yaitu
estimasi jumlah daging yang dihasilkan dari suatu karkas.
Faktor kualitas
daging yang dimakan terutama meliputi warna, keempukan dan tekstur, flavor dan
aroma termasuk bau dan cita rasa dan kekasan jus daging (juiciness).
Disamping itu, lemak intramuskular, susut masak (cooking loss) yaitu berat
sampel daging yang hilang selama pemasakan atau pemanasan, retensi cairan dan
pH daging, ikut menentukan kualitas daging.
Pada prinsipnya,
jumlah daging yang dihasilkan adalah proporsional secara langsung terhadap
berat karkas dan berbalikan secara proporsional terhadap jumlah lemak karkas.
Jadi penilaian karkas dapat didasarkan atas berat karkas dan tingkat
perlemakan. Meskipun demikian, karena lemak tidak selalu terdistribusi secara
merata, maka estimasi nilai-nilai karkas (kualitas hasil) masih menghadapi
problem yang komples.
1.2.
Rumusan Masalah
Dari latar
belakang diatas yang menjadi permasalan pada makalah ini yaitu untuk mengetahui
factor-faktor yang
mempengaruhi kualitas karkas sebelum pemotongan dan sesudah pemotongan.
PEMBAHASAN
2.1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas
Karkas
Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan
setelah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas
daging antara lain genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur,
pakan termasuk bahan aditif (hormon, antibiotik atau mineral), dan stress.
Faktor setelah pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging antara lain
meliputi metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, pH karkas dan
daging, bahan tambahan termasuk enzim pengempuk daging, hormon dan antibiotik,
lemak intramuskuler atau marbling, metode penyimpanan dan preservasi, macam
otot daging dan lokasi pada suatu otot daging (Soeparno, 1998).
Faktor Genetik Didalam bangsa ternak yang sama, komposisi karkas
dapat berbeda. Bangsa ternak dapat menghasilkan karkas dengan karasteristiknya
sendiri. Perbedaan komposisi tubuh dan karkas diantaranya bangsa ternak,
terutama disebabkan perbedaan ukuran tubuh dewasa atau perbedaan berat pada
saat dewasa
Faktor Lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap kualitas karkas dan daging
diantaranya adalah status nutrisi dan konsumsi pakan, umur dan berat tubuh
ternak saat dipotong, bahan aditif, dan stres. Status nutrisi bisa jadi
merupakan faktor lingkungan yang terpenting yang mempengaruhi komposisi karkas
dan daging. Ternak yang mengkonsumsi pakan dengan kandungan energi tinggi akan
meningkatkan kadar lemak tubuhnya. Ternak-ternak yang digembalakan di pasture
dengan dominan spesies legum akan memiliki kecenderungan penimbunan lemak
tubuhnya lebih besar daripada yang digembalakan pada pasture dengan spesies
rerumputan (Soeparno 1998).
Faktor umur dan berat tubuh sering merupakan faktor yang saling
terkait satu dengan yang lainnya. Biasanya baik secara sendiri-sendiri maupun
bersama-sama antara umur dan berat tubuh akan mempengaruhi komposisi karkas.
Ternak yang dipotong pada umur yang tua akan memiliki kealotan daging yang
lebih tinggi daripada ternak muda. Dengan bertambahnya umur biasanya diikuti
pertambahan berat badan. Kondisi ini diikuti dengan peningkatan pertumbuhan
organ-organ tertentu terutama yang berkaitan dengan depot lemak (Soeparno,
1998).
Komposisi Kimi Karkas komposisi kimia karkas yang terutama
terdiri dari air, protein, lemak dan abu secara proporsional dapat juga
berubah, jika proporsi salah satu variabel mengalami perubahan
Bahan aditif yang sering dihubungkan dengan kualitas daging adalah
hormon dan antibiotika. Hormon-hormon tertentu telah terbukti mempunyai
pengaruh yang baik terhadap pertumbuhan, tetapi banyak juga hormon yang tidak
mampu meningkatkan kualitas karkas dan daging. Hormon tiourasil sebagai agensia
antitiroid dapat menurunkan konsumsi pakan dan laju pertumbuhan berat badan
tanpa meningkatkan kualitas karkas. Injeksi hormon adrenalin menjelang
penyembelihan ternak dapat mengakibatkan pH ultimat otot tinggi. Keuntungan pH
ultimat yang tinggi adalah melindungi protein otot dan meningkatkan daya ikat
air oleh protein daging yang direfleksikan pada peningkatan keempukan daging (Soeparno,
1998).
Antibiotik sering ditambahkan pada pakan untuk dikonsumsi ternak.
Antibiotik aureomisin, teramisin, dan penisilin efektif dapat merangsang laju
pertumbuhan, berat dan komposisi karkas, dan efisiensi konversi pakan pada
ternak muda, tetapi pengaruhnya berbeda-beda diantara spesies. Dengan kondisi
yang demikian itu maka daging/karkas dari ternak yang diberi antibiotik dengan
yang tidak memiliki kualitas yang berbeda. Hal ini terkait dengan efek
penggunaan antibiotika pada laju pertumbuhan dan konsumsi serta konversi pakan.
Namun demikian penggunaan antibiotik yang berlebihan dan tidak tepat waktu
dapat mempengaruhi kualitas daging dari sisi konsumen, yaitu aspek kesehatan
dari residu antibiotik pada tubuh ternak (Soeparno, 1998)
Pada dasarnya, kualitas karkas adalah nilai karkas yang dihasilkan
oleh ternak relatif terhadap suatu kondisi pemasaran. Faktor yang menentukan
nilai karkas meliputi berat karkas, jumlah daging yang dihasilkan dan kualitas
daging dari karkas yang bersangkutan. Nilai karkas dikelompokkan berdasarkan
jenis kelamin atau tipe ternak yang menghasilkan karkas, umur atau kedewasaan
ternak, dan jumlah lemak intramuskular atau marbling didalam otot. Faktor nilai
karkas dapat diukur secara subyektif, misalnya dengan pengujian organoleptik
atau metode panel. Disamping kualitas (nilai) karkas, juga dikenal kualitas
hasil, yaitu estimasi jumlah daging yang dihasilkan dari suatu karkas
(Soeparno, 1998).
Faktor kualitas daging yang dimakan terutama meliputi warna,
keempukan dan tekstur, flavor dan aroma termasuk bau dan cita rasa dan kekasan
jus daging (juiciness). Disamping itu, lemak intramuskular, susut
masak (cooking loss) yaitu berat sampel daging yang hilang selama
pemasakan atau pemanasan, retensi cairan dan pH daging, ikut menentukan
kualitas daging (Soeparno, 1998).
2.2. Hal-hal Yang Harus Diperhatikan
Untuk Menghasilkan Karkas/Daging yang Berkualitas
Kualitas daging dan karkas ini secara umum sangat dipengaruhi oleh
tiga aspek, yaitu aspek produksi, aspek pemanenan (pemotongan), dan aspek
penanganan segera setelah pemanenan (pemotongan) (Soeparno, 1994).
1.
Aspek Produksi
Aspek produksi menyangkut
seluruh rangkaian proses produksi peternakan termasuk di dalamnya adalah faktor
genetik dan lingkungan. Faktor genetik yang turut mempengaruhi kualitas daging
dan karkas adalah spesies, breed (bangsa), tipe ternak, dan jenis kelamin
ternak. Sebagai contoh adalah bahwa kerbau memiliki serat daging yang lebih
kasar dari pada sapi. Sapi potong bangsa angus lebih memiliki kecenderungan menimbun
lemak intramuskular daripada bangsa sapi yang lain. Pada sapi madura memiliki
persentase karkas yang lebih rendah dibanding dengan sapi bali meskipun daging
total yang diperoleh bisa jadi lebih banyak. Demikian halnya bahwa tipe ternak
perah akan memiliki kecenderungan penimbunan lemak pada ginjal dan pelviksnya
(Soeparno, 1994).
2.
Aspek pemanenan
(pemotongan)
2.1. Sebelum
Pemotongan
Selain aspek produksi
sebagaimana disebutkan di atas, penyembelihan ternak memiliki peranan penting
dalam mempertahankan kualitas daging/karkas yang dihasilkan. Ini terkait dengan
kerja fisiologis ternak, perubahan-perubahan baik fisik maupun biokemis segera
setelah disembelih, dan pencemaran daging oleh mikroorganisme (Soeparno, 1994)
Pada prinsipnya dalam persiapan
penyembelihan ternak adalah bagaimana mengkondisikan ternak baik secara fisik,
emosional, dan fisiologis siap untuk disembelih dengan sebaik-baiknya sehingga
pada proses penyembelihannya darah yang dikeluarkan sebanyak mungkin dan ternak
tidak merasa tersiksa (Soeparno, 1994).
Berkenaan dengan kesiapan
ternak untuk siap disembelih maka beberapa hal perlu diperhatikan sebelum
ternak disembelih.
a.
Ternak harus diistirahatkan
secukupnya dan tenang sesaat menjelang eksekusi
b.
Ternak harus dihindarkan
dari tekanan dan perlakuan menyakiti
c.
Ternak harus dalam keadaan
sehat (Soeparno, 1994).
Ternak yang cukup istirahat
dan tenang sebelum penyembelihan diharapkan akan mendapatkan kualitas
karkas/daging bermutu tinggi dibandingkan dengan ternak yang sebelum penyembelihan
dalam kondisi kelelahan dan mendapat tekanan (stres). Ternak yang kelelahan dan
stres memiliki cadangan glikogen yang rendah sehingga berpengaruh pada proses
pengeluaran darah, meronta, dan rigor mortis (Soeparno, 1994).
Lamanya waktu mengistirahatkan
ternak berbeda-beda tergantung dari spesies, tipe ternak dan kondisi atau
tingkat kelelahannya, misalnya dari perjalanan (pengakutan) menuju tempat
pemotongan yang jauh, dan lain sebagainya. Namun demikian biasanya cukup antara
12 – 24 jam. Perlunya ternak diistirahatkan adalah:
a.
Agar ternak tidak mengalami stress.
b.
Cukup tersedia cadangan
energi sehingga proses rigormortis dapat berlangsung secara sempurna.
c.
Pada saat disembelih darah
yang keluar sebanyak mungkin (Soeparno, 1994)
Menurut Soeparno (1994)
mengistirahatkan ternak sebelum disembelih ada 2 (dua) cara, yaitu dengan
dipuasakan dan tanpa dipuasakan. Pemuasaan dilakukan
1)
Agar diperoleh bobot tubuh
kosong (BTK), yaitu bobot tubuh yang telah dikurangi isi saluran pencernaan, saluran
kencing dan empedu.
2)
Mempermudah proses
penyembelihan terutama bagi ternak yang agresif atau liar.
Sedangkan pengistirahatan
ternak tanpa pemuasaan adalah
1)
Agar ternak tidak mengalami
stress.
2)
ketika disembelih ternak
mengeluarkan darah sebanyak mungkin karena lebih kuat meronta, mengejang atau
berkontraksi sehingga darah yang dikeluarkan akan lebih sempurna.
Hal penting lain yang
perlu/harus dilakukan sebelum ternak disembelih adalah melakukan pemeriksaan
ternak (pemeriksaan antemortem). Menururt Swatland (1984 disitasi oleh Soeparno
(1994) bahwa pemeriksaan antemortem dimaksudkan (1) untuk mengetahui ternak
yang cidera sehingga diprioritaskan untuk disembelih terlebih dahulu dan (2)
untuk mengetahui ternak-ternak yang sakit sehingga disembelih secara terpisah.
Menurut Suharyanto (1996)
adapun manfaat dari pemeriksaan antemortem adalah:
a.
Mengetahui/menentukan ternak
yang dagingnya berbahaya untuk dikonsumsi. Misalnya ditemukan adanya ternak
yang berada pada taraf septi chaemi (gejala infeksi yang mulai menjalar);
ternak yang demikian ini sukar diketahui gejala-gejalanya sehingga tanpa
pemeriksaan sukar diketahui sedangkan hal ini berbahaya bagi konsumen.
b.
Dapat menetapkan kesehatan
ternak ketika masih hidup sehingga bisa menyatakan sehat atau tidak dagingnya
untuk dikonsumsi.
c.
Dapat mengetahui apakah
ternak dalam keadaan lelah atau tidak untuk segera dilakukan penyembelihan.
2.2
Pemotongan/Penyembelihan Ternak
Cara penyembelihan ternak
bermacam-mcam sesuai dengan kebiasaan, adat istiadat dan agama masyarakat
setempat. Di Indonesia dan masyarakat Islam lainnya, penyembelihan dilakukan
dengan menyebut nama Allah dan disembelih secara langsung dengan alat
penyembelihan yang tajam. Namun demikian prinsip penyembelihan ternak adalah
bahwa ternak harus disembelih secepat mungkin dan rasa sakit diusahakan
seminimal mungkin untuk menghindari stres (tekanan) dan pengurangan cadangan
glikogen (Soeparno, 1994).
Menurut Soeparno (1994) ada
2 (dua) cara penyembelihan, yaitu
1.
Penyembelihan secara langsung
yaitu bahwa petugas penyembelih (jagal) menyembelih langsung pada leher ternak
dengan memutuskan arteri karotis, vena jugularis, dan esofagus.
2.
penyembelihan secara tidak
langsung dapat dilakukan dengan pemingsanan ternak terlebih dahulu. Pemingsanan
ini dapat dilakukan dengan (a) menggunakan alat pemingsan (knocker), (b)
senjata pemingsan (stunning gun), (c) pembiusan, dan (4) menggunakan arus
listrik.
Setelah ternak disembelih,
untuk menentukan apakah ternak benar-benar telah mati atau belum dapat
dilakukan dengan 3 (tiga) macam ujicoba, yaitu reflek mata, reflek kaki, dan
reflek ekor (Soeparno, 1994). Ujicoba dengan reflek mata dilakukan dengan
menyentuh pelupuk mata apakah masih bergerak atau tidak. Ujicoba refrlek kaki
adalah dengan memukul persendian kaki atau memijit sela-sela kuku. Dan uji coba
reflek ekor adalah dengan membengkokkan ekor. Apabila respon kelopak mata,
kaki, dan ekor tidak bergerak tandanya ternak telah benar-benar mati.
3.
Aspek Setelah
Pemotongan
3.1
Perubahan Karkas/Daging Setelah Disembelih
Setelah ternak disembelih
maka penyediaan oksigen ke otot terhenti sebagai akibat terhentinya aliran
darah. Akibatnya adalah bahwa persediaan glikogen tidak ada lagi di otot dan
sisa metabolisme tidak dapat dikeluarkan dari otot. Perubahan perubahan tersebut
diikuti dengan perubahan-perubahan fisik, dan biokemis lainnya seperti
perubahan suhu, perubahan pH, dan rigor mortis (Buckle, et al., 1987).
Ternak yang disembelih, suhu
permukaan karkasnya menurun, hal ini karena tidak ada lagi aliran darah ke
permukaan tubuh/kerkas ternak. Penurunan ini sama dengan suhu sekitarnya atau
lebih rendah lagi. Namun demikian karena darah dan sisa-sisa metabolisme yang
tersisa di dalam otot, maka suhu di dalam jaringan justri meningkat.
Peningkatan ini berkisar antara 10 – 20 , tergantung dari besar kecilnya ternak
sebagai akibat dari proses glikolisis sesudah kematian dimana glikogen diubah
menjadi asam laktat (Buckle, et al., 1987).
Konversi glikogen menjadi
asam laktat mempengaruhi pH daging. Dengan demikian pH daging dipengaruhi oleh
tingkat cadangan glikogen, penanganan sebelum penyembelihan, dan laju
glikolisis. pH akhir yang dicapai tubuh ternak dapat mempengaruhi mutu daging
(Buckle, et al., 1987), yaitu:
a.
pH rendah yaitu sekitar 5,1
– 6,1 menyebabkan daging mempunyai struktur terbuka yang sangat diinginkan
untuk pengasinan daging; warna merah muda yang cerah dan disukai konsumen;
flavor yang lebih disukai, baik dalam kondisi telah dimasak maupun diasin; dan
stabilitas yang lebih baik terhadap kerusakan akibat mikroorganisme.
b.
pH tinggi, yaitu sekitar 6,2
– 7,2 menyebabkan daging tahap akhir mempunyai struktur tertutup atau padat
dengan warna merah-ungu tua, rasa kurang enak dan keadaan yang lebih
memungkinkan untuk perkembangan mikroorganisme.
Perubahan yang secara fisik dapat
disaksikan adalah rigor mortis, yaitu proses yang menunjukkan keadaan karkas
menjadi kaku yang biasanya terjadi antara 24 – 48 jam setelah penyembelihan.
Rigor mortis terjadi merupakan akibat dari serangkaian peristiwa biokimia yang
kompleks menyangkut hilangnya creatin phosphat (CP) dan Adhenosine Triphosphat
(ATP) dari otot, tidak berfungsinya sistem enzim sitokhrom dan reaksi-reaksi
kompleks lainnya (Buckle, et al., 1987). Kekakuan ini juga akibat adanya aktin
dan miosin mebentuk aktomiosin yang kemudian menjadi irreversible.
Kecepatan laju rigor mortis
dipengaruhi oleh beberapa faktor (Buckle, et al., 1987), diantaranya adalah (1)
tingkat cadangan glikogen pada saat mati. Bila glikogen rendah rigor mortis
cenderung berlangsung cepat. Dan ini berkaitan erat dengan pH akhir yang
dicapai. (2) Suhu karkas; kecepatyan tertinggi dari rigor mortis sebanding
dengan suhu yang tinggi, yang mempercepat hilangnya CP dan ATP otot.
3.2
Penyiapan Karkas
Setelah ternak disembelih
secara sah dan dinyatakan benar-benar mati maka yang dilakukan selanjutnya
adalah penyiapan karkas. Urutan penyiapan karkas yang umum dilakukan (swatland,
1984 disitasi oleh Soeparno, 1994) adalah:
1.
Memisahkan kepala dari tubuh
ternak.
2.
Melakukan pengulitan kepala.
3.
Memisahkan keempat kaki pada
bagian persendian tulang kanon.
4.
Pengulitan tubuh.
5.
Membuka rongga dada, tepat
melalui ventral tengah tulang dada atau sternum.
6.
Membuka rongga abdomen
dengan irisan sepanjang ventral tengah, kemudian memisahkan penis, ambing, dan
lemak abdomen.
7.
Membelah bonggol pelvik dan
memisahkan keduanya.
8.
Membuat irisan sekitar anus
dan menutupnya dengan kantong plastic.
9.
Menguliti ekor, jika belum
dilakukan.
10. Memisahkan esofagus dari trachea.
11. Mengeluarkan kandung kencing dan uterus jika ada, usus, rumen,
jantung, dan hati.
12. Pisahkan karkas menjadi dua bagian melalui garis tengah punggung
13. Rapikan karkas dengan membuang bagian-bagian yang kurang
bermanfaat.
Kemudian karkas ditimbang
untuk mendapatkan berat segar. Karkas yang telah siap, dicuci dapat dibungkus
dengan kain putih untuk merapikan lemak subkutan. Selanjutnya karkas dapat
dipotong-potong menjadi wholesle cut dan retail cut sesuai dengan permintaan
pasar.
3.3.Pemeriksaan Daging
Sebelum ternak disembelih
telah dilakukan pemeriksaan antemortem, maka setelah ternak disembelih dan
disiapkan menjadi karkas dilakukan juga pemeriksaan yang disebut sebagai
pemeriksaan postmortem. Yaitu memeriksa karkas dan alat-alat dalam (viscera),
serta produk akhir. Menurut Soeparno (1994), pemeriksaan daging dimaksudkan (1)
untuk melindungi konsumen dari penyakit yang dapat ditimbulkan karena makan
daging yang tidak sehat, (2) melindungi konsumen dari pemalsuan daging, dan (3)
mencegah penularan penyakit diantara ternak.
Pemeriksaan postmortem yang
dilakukan di Indonesia adalah dengan memeriksa karkas, kelenjar limfa, kepala,
mulut, kuku, lidah, dan organ-organ dalam. Bila ditemukan kondisi abnormal maka
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Keputusan hasil pemeriksaan menentukan
apakah karkas dan bagian-bagiannya dapat dikonsumsi, diproses lebih lanjut atau
tidak (Soeparno, 1994).
Pemalsuan daging sering
terjadi di Indonesia karena aspek pemeriksaan belum dilakukan dengan baik dan
integratif dengan pihak-pihak lain. Pada tahun 2000 terjadi pemalsuan daging
sapi dengan daging celeng (babi hutan) yang disinyalir justru berasal dari
Bengkulu. Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk memaksimalkan
pemerikasaan secara integratif diantaranya adalah dengan (1) membentuk
seperangkat aturan dan penegakannya secara jelas dan tegas dan (2) mengoptimalkan
fungsi dan peran Rumah Potong Hewan (RPH) dengan melibatkan pihak pemerintah
dan MUI yang mengontrol kemungkinan penyimpangan-penyimpangan pada RPH itu
sendiri (Suharyanto dan Anton Sutrisno, 2000).
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari pembahasan
tersebut tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas karkas sebelum
pemotongan dan sesudah pemotongan maka dapat disimpulkan antara lain yaitu:
1.
Karkas adalah bagian tubuh
ternak setelah dilakukan pemotongan yang telah dikeluarkan kepala, kaki, kulit
dan jeroan.
2.
Karkas dilakukan pemeriksaan
antemortem dan postmortem, antmortem meliputi genetik, spesies, jenis kelamin,
stress, bangsa, tipe ternak, umur dan pakan. Sedangkan postmortem meliputi
metode pelayuan, stimulasi listrik, metode perusakan, pH karkas
3.
Sapi yang memiliki kualitas
karkas yang baik yaitu pada sapi atau ternak yang telah dewasa. Sapi yang telah
tua kualitas karkas akan menurun disebabkan karena daging tidak akan bertambah
melainkan lemak sehingga akan menyebabkan daging yang alat
4.
Dilihat dari segi peternakan
lebih baik kualitas karkas sapi yang dipuasakan karena meminalisir kontaminasi
dari bakteri dalam rumen, namun apabila sapi tersebut terlalu lama dipuasakan
kandungan glikogen akan berkurang sehingga mempengaruhi warna daging dan
kealotan
5.
Langkah taktis yang harus
dilakukan peternak di Indonesia
untuk mengatasi dampak globalisasi dilihat dari segi kualitas karkas dan
teknologi yaitu memperbaiki proses pemotongan untuk meningkatkan kualitas
karkas dan meningkatkan kesadaran diri masyarakat peternak di Indonesia
6.
Petumbuhan tulang yang baik
bagi ternak yaitu pada saat ternak dewasa kelamin, karena pada saat dewasa
kelamin ternak tersebut sudah berfungsi hormon testosteron (ternak jantan)
dimana hormon ini meningkatkan atau memacu pertumbuhan tulang.
7. Maturasi adalah proses secara alamiah yang terjadi pada daging
selama penyimpanan dingin (2 – 5°C setelah ternak disembelih yang memberikan
dampak terhadap perbaikan palatabilitas daging tersebut khususnya pada daerah
rib dan loin.
DAFTAR PUSTAKA
Abustam, Effendi. 2009. Konversi Otot Menjadi Daging. http://cinnatalemien-eabustam.blogspot.com/2009/03/konversi-otot-menjadi-daging.html.
Anonima,
2009. Apakah Karkas dan Bagian-Bagiannya?.
Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet, dan M. Wootton, 1987. Ilmu Pangan. UI-Press. Jakarta.
Soeparno. 1998. Ilmu dan
Teknologi Daging. Gadjah
Mada University
Press. Yogyakarta
Suharyanto, 1996. Pentingnya
Pembangunan Rumah Potong Ayam di Bengkulu. Semarak.
Suharyanto dan Anton Sutrisno, 2000. Strategi Menghindari Peredaran Daging Ilegal. Poultry Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar