I.
PENDAHULUAN
1.1.Latar
Belakang
Kerbau (Bubalus bubalis) merupakan binatang memamak biak yang masih termasuk dalam
subkeluarga bovinae. Kerbau merupakan modifikasi antara bentuk antelope dan
sapi, yang ada di Indonesia
termasuk di Sulawesi Tenggara .Kerbau umumnya dipelihara secara tradisional di tempat - tempat
khusus: seperti sungai, semak-belukar, pinggir hutan atau rawa yang banjir dengan kedalaman air lebih
dari 3,50 m. Kerbau memiliki keunggulan tersendiri untuk
dikembangkan karena dapat -bertahan hidup dengan kualitas pakan rendah, toleran
terhadap parasit dan keberadaannya telah menyatu sedemikian rupa dengan
kehidupan sosial dan budaya petani.
Secara umum
usaha ternak kerbau telah lama dikembangkan oleh masyarakat sebagai salah satu
mata pencaharian dalam skala usaha yang masih relatif kecil. Usaha ternak kerbau ini dilakukan
untuk tujuan produksi daging, kulit dan tenaga kerja. Meskipun di beberapa
wilayah tertentu produk
daging kerbau sangat diminati masyarakat, seperti di daerah Tana Toraja dan wilayah lain, namun pada segmen pasar tertentu permintaan produk daging kerbau masih relatif
terbatas. Seperti diketahui
bahwa produktivitas ternak kerbau di Indonesia masih relative rendah yaitu 5,1
gram per kapita per hari setara dengan konsumsi daging 7,7 kilogram, telur 4,7
kilogram dan susu 7,5 kilogram per kapita per tahun. karena secara teknis masih terdapat
beberapa kendala yang memerlukan pemikiran untuk mengatasinya.
Masalah
peternakan kerbau cukup bervariasi antara lain pola pemeliharaan tradisional,
berkurangnya lahan penggembalaan, tingginya pemotongan pejantan yang berdampak
pada kekurangan pejantan, pemotongan ternak betina produktif, kekurangan pakan
dimusim tertentu, kematian pedet yang cukup tinggi (sekitar 10%), rendahnya
produktivitas, pengembangan system pemeliharaan semi intensif yang masih
terbatas, serta kesan negative terhadap kerbau. Namun demikian, usaha ternak
kerbau memiliki prospek cukup baik untuk dikembangkan terutama di beberapa
wilayah yang memiliki sumberdaya pakan melimpah. Oleh karena itu, perlu adanya
upaya penyelamatan populasi dan pengembangannya yang dapat dilakukan melalui
berbagai macam usaha dari berbagai pihak antara lain pemberdayaan kelompok
ternak dan penerapan teknologi tepat guna seperti Inseminasi Buatan (IB),
Intesifikasi Kawin Alam (INKA) serta program pembibitan lainnya.
Pada tahun 2012
dialokasikan kegiatan pengembangan pembibitan ternak kerbau melalui dana Tugas
Pembantuan Provinsi di beberapa Kabupaten/Kota dengan tujuan yang ingin dicapai
adalah untuk (1) meningkatkan populasi dan produktivitas kerbau, (2)
menciptakan sentra/kawasan sumber bibit kerbau, (3) membentuk kelompok pembibit
kerbau yang berdaya saing, mandiri dan berkelanjutan, (4) pelestarian plasma
nutfah kerbau lokal.
1.2.Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada makalah ini yaitu :
1.
Bagaimana solusi untuk mengatasi masalah
pengembangan kerbau di Sulawesi
Tenggara?
II.
PEMBAHASAN
2.1. Peternakan Kerbau di Sulawesi
Tenggara
Di Indonesia
kerbau telah berkembang sejak dahulu. Dimana telah tersebar di seluruh
Indonesia termasuk Sulawesi Tenggara. Kerbau yang berasal di Sulawesi Tenggara kususnya Tana Toraja sebagai daerah
tujuan wisata mempunyai daya tarik tersendiri bagi turis mancanegara maupun
domestik, di antaranya adalah (1) Karena panoramanya yang indah, (2) Sumber
plasma nutfah kerbau Belang. (3) Budaya yang unik dengan ritual upacara adat (4)
Adanya pasar hewan (kerbau) yang selalu ramai setiap pekan dan merupakan pasar hewan
(kerbau) terbesar di Indonesia, serta (5) Masayarakatnya menjadikan beban
sebagai komoditas penting dalam hidup berbudaya.
Berdasarkan penelitian Mason, 1969, kerbau di bagi
menjadi 4 golongan , yakni ;
1.
Anoa (buballus depresicronis), khususnya
terdapat disulawesi
2.
Borneo Buffalo (Buballus arneehosei),
khususnya kerbau lumpur yang terdapat
di Kalimantan.
3.
Kerbau – banteng Delhi, merupakan kerbau
yang terdapat di Sumatra dan dikenal
sebagai kerbau sungai.
4.
Bos Arni, adalah kerbau yang terdapat di
asia tenggara dan hampir identik dengan kerbau lumpur dan merupakan
keturunannya
Pada umumnya kerbau di Indonesia tidak menunjukan
jenis tersendiri, melainkan bervariasi , baik dalam ukuran , konformasi tubuh,
cirri-ciri tanduk, warna kulit dan bulu. Dengan demikian kerbau di Indonesia
dapat dibagi menjadi 2 kelompok yakni ; kerbau liar dan kerbau jinak. Berdasarkan karakteristiknya kerbau
jinak dibagi menjadi 2 yaitu :
a.
Kerbau Sungai (River Buffalo)
Secara
umum kerbau jenis ini memiliki ciri sebagi berikut ; (1) memiki kulit hitam
pekat; (2) tubuh padat dan pendek, leher dan kepala relative kecil; (3)
punggungnya lebar:serta (4) tanduk melingkar rapat seperti spiral.
b.
Kerbau Lumpur (swamp buffalo) Kerbau ini memiliki ciri sebagai
berikut:
1)
Warna kulit coklat kehitam-hitaman
2)
Tubuhnya relatif pendek dan
3)
Kaki pendek serta tanduknya agak melenkung
Bagi masyarakat
Toraja komoditas kerbau mempunyai peran yang sangat urgen dalam kaitan dengan
ritual upacara pemakaman yang ditandai dengan pemotongan kerbau berbagai tipe
(Belang, Pudu, Todi, Sambao, Balian) mulai 1-2 ekor sampai 10 ekor bahkan lebih
dari 100 ekor setiap kegiatan upacara adat (Kedukaan), selain sebagai sumber
protein oleh karena itu pemotongan kerbau di Kabupaten Tana Toraja mencapai
angka ± 8.500 ekor setiap tahun.
Kondisi ini
menyebabkan tren perkembangan populasi sejak tahun 2000 mengalami penurunan
karena kelahiran belum dapat mengimbangi permintaan pasar yang cenderung
meningkat. Sekitar 70% kebutuhan sudah dipasok dari luar kabupaten, seperti
dari NTT, NTB, Kalimantan, Ambon, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara sehingga
diperlukan kegiatan pengembangan kerbau di Tana Toraja.
Sejalan dengan
arah kebijakan pemerintah dengan dicanangkannya Revitalisasi Pertanian oleh presiden
RI pada tanggal 11 Juni 2005 dengan menetapkan pembangunan aspek pembibitan
sebagai salah satu kegiatan yang mendapat prioritas. Sebelumnya di Tana Toraja sudah
dirintis pengembangan kerbau pola kawin alam sebagai cikal bakal perbibitan
pada dua kelompok tani ternak dengan hasil yang menggembirakan.
Produksi 2010 (Ekor)
|
5.294
|
Produksi 2009 (Ekor)
|
7.031
|
Produksi 2008 (Ekor)
|
7.078
|
Produksi 2007 (Ekor)
|
6.951
|
Produksi 2006 (Ekor)
|
7.614
|
Sumber
Data: Statistik
Peternakan Tahun 2006 – 2010 Pemerintah
Provinsi Sulawesi Tenggara Dinas Pertanian [http://regionalinvestment.bkpm.go.id/newsipid/commodityarea.php?ia=74&ic=70]
Kerbau memiliki beberapa peranan utama secara nasional yaitu sebagai
penghasil daging yang mendukung program pemerintah dalam hal swasembada daging
selain daging sapi. Secara khusus kerbau dijadikan sebagai tenaga kerja bagi
masyarakat bagi para petani dan tabungan masyarakat yang sewaktu-waktu dijual
apabila diperlukan, selain itu kerbau dijadikan sebagai ternak yang digunakan
dalam beberapa kegiatan upacara adat dan keagamaan bagi masyarakat tertentu. Peran ini ikut menentukan perkembangan
populasi kerbau di Sulawesi
Tenggara. Produktifitas dari ternak kerbau dapat ditingkatkan
dengan manajamen pemeliharaan yang baik, sehingga dapat meningkatkan daya jual
dari ternak tersebut untuk memperoleh keuntungan yang diharapkan.
Demikian pula jika kebutuhan berlaku secara efektif sesuai
yang dibutuhkan peternak maka tentu existensi kerbau akan terus dipertahankan.
Tetapi jika sebaliknya yang terjadi maka tentulah populasi kerbau akan menurun,
karena kebutuhan tentu driveb by market
and farmers need. Populasi kerbau tidak akan menurun jika ada nilai tambah yang dilakukan dan
berdampak nyata secara ekonomi bagi perbaikan penghasilan para peternak
(Rusastra, 2011).
Meskipun
diketahui hanya terdapat satu bangsa kerbau lumpur atau rawa, namun
terdapat subgroup tertentu dari kerbau rawa yang tampaknya mempunyai ciri khas
tertentu. Sebagai contoh kerbau Thailand yang mempunyai berat dewasa sekitar
450-550kg yang tergolong sebagai kerbau rawa berukuran besar. Sementara itu
kerbau rawa dari daratan Cina memiliki berat badan 250 kg, Burma
300 kg, dan di Laos 550-600 kg. Besar kecilnya berat badan kerbau rawa tersebut
akan mempengaruhi nilai produktivitasnya sebagai ternak kerja di sawa.
Kerbau di duga mempunyai kemampuan usaha tarik beban sebesar 10% dari
berat badanya. Besar kecilnya kemampuan usaha tarik ini erat kaitannya
dengan jenis tanah yang dapat diolahnya, kedalaman tanah bajakannya,
lebar sempitnya mata sisir guru tanah (Murti, 2002).
2.3. Masalah
Pengembangan dan Kendala Kerbau
di Sulawesi Tenggara
Faktor penyebab
menurunnya populasi kerbau di Sulawesi
yaitu dalam Prosiding Seminar Lokakarya Nasional Kerbau
(2009), bahwa perkembangan populasi kerbau selama 10 tahun terakhir kurang
mengembirakan, bahwa terjadi penurunan populasi dari tahun ke tahun. Populasi
kerbau terbesar di beberapa wilayah di Indonesia terutama di Sulawesi Tenggara,
data statistik pada tahun 2008 menujukkan bahwa sekitar 23,6 % dari populasi
kerbau. Secara umum kerbau di pelihara oleh peternak diperdesaan dengan
rata-rata kepemilikan 1-2 ekor/petani. Salah satu yang menyebabkan rendahnya
populasi kerbau di sebabkan oleh keterbatasan bibit unggul, mutu pakan rendah,
perkawinan silang dalam kekurangan pengetahuan peternak dalam menangani produk
dan reproduksi ternak tersebut.
Kerbau relah lama berkembang dan
dipelihara pada suatu agroekisistem yang spesifik terseleksi secara alamiah dan
menghasilkan tipe kerbau yang berkarakter spesifik. Kelemahan ternak kerbau
yakni mempunyai kemampuan terbatas untuk merubah kelebihan tenaga/energi
menjadi jaringan lemak dibanding dengan ternak sapi (MORAN, 1975). Hal
initersebut merupakan penyebab rendahnya pertambahan bobot badan kerbau
walaupun diberi makanan yang berkualitas bagus.
Salah satu kelebihan kerbau yang
selama ini dipercayai ialah kemampuannya untuk mencernapakan yang mengandung
serat kasar tinggi, kerbau mampu mencerna jerami padi yang tersedia melimpah
saat musim panen. Jerami tersebut dapat diimpan sebagai cadangan pakan dimusim
kemarau.
Beberapa kendala yang dihadapi yang
mengakibatkan perkembangan produksi kerbau agak lambat antara lain; tingkat
repoduksi rendah, kesulitan mendeteksi uterus, masa kebuntingn lebih lama
dibandingkan dengan sapi, dan interval kelahiran lebih panjang. Namun demikian
kerbau mampu survive dengan pakan yang berkualitas rendah dibandingkan sapi.
Selain itu, kemempuan dan kemauan petani/ peternak kerbau tidak di dukung tidak
tersedianya pejantan sehinnga alternative lain untuk mengatasinya adlah dengan
cara perkawinan dengan inseminasi buatan (IB). Kendala ini adalah adanya
lecendrungan performan produksi menurun dan ternak kerbau yang semakin mengecil
bobot badannya, hal ini di duga akibat proses perkawinan yang tidak terencana,
sehinngga peluang munculnya efek negativ perkawinan inbreeding (sedarah)
semakin meluas
2.4. Usaha-Usaha Mempercepat Peningkatan
Populasi Dan Kualitas Kerbau Melalui Efisiensi Reproduksi
Banyak faktor yang
harus dilakukan dalam rangka meningkatkan populasi dan kualitas kerbau diantaranya adalah:
1.
Mengupayakan
terbentuknya village breeding system (VBC) yang secara khusus mengupayakan
pengembangan kerbau.
2.
Mengadakan
upaya recording serta seleksi kerbau berdasarkan performa dan asal usul ternak
dengan cara penjaringan ternak yang baik berdasarkan standarisasi.
3.
Penerapan
teknologi, khusunya untuk mengolah limbah pertanian (jerami padi, pucuk tebbu,
jerami jagung, jerami kedelai).
4.
Komitmen yang berkelanjutan. Penurunan
populasi kerbau di daerah-daerah tertentu sudah lama terjadi, namun sampai
sejauh ini dorongan pemerintah, terutama pemerintah daerah belum nyata mendorong perkembangan
populasi di daerahnya masing-masing. Tidak sedikit peternak kerbau berlokasi
jauh dari pusat pemerintah sehingga banyak yang tidak tersentuh oleh laju
pembangunan. Fasilitas untuk peningkatan populasi baik software maupun hardware
belum sampai ketangan peternak kerbau. Peternak kerbau seolah berjalan sendiri
tanpa tahu kemana tujuanya.
5. Pembentukan
kelompok ternak. Memungkinkan dapat mendorong peningkatan populasi. Dalam kelompok para peternak bisa merencanakan usaha yang
akan dilakukan sehubungan dengan peningkatan populasi, termaksud terbentuknya
kandang kelompok. Kandang kelompok bila dikelola dengan baik dengan kesadaran
yang tinggi dapat memecahkan masalah ketiadaan jantan dan keterlambatan
perkawinan.
6. Melakukan
seleksi, baik pada kerbau betina maupaun pada kerbau jantan, terutama pada
kerbau jantan. Mengingat satu ekor jantan dalam 1 tahun mampu mengawini 50 ekor
betina
dan bila semua berhasil bunting maka akan lahir anak kerbau yang genetikanya
baik. Pada saat ini justru kerbau betina atau jantan yang tampilanya lebih besar
adalah yang paling cepat masuk rumah potong. Peran pemerintah disini melakukan
penjaringan agar fenomena yang sudah lama terjadi ini akan dihentikan minimal
dikurangi.
7. Peternak
yang memiliki kerbau yang baik dan memenuhi standar bibit perlu mendapat penghargaan
dengan memberikan sertifikat. Hal ini bisa merangsang prestasi selanjutnya dan
akan berpengaruh positif terhadap lingkungan.
8. Mengembangkan
program inseminasi buatan pada daerah-daerah yang padat populasi kerbaunya.
Penerapan inseminasi buatan (IB) pada kerbau adalah salah satu cara untuk
mengatasi terbatasnya pejantan unggul sepanjang secara sosial ekonomi dapat
dipertanggungjawabkan (SUBIYANTO, 2010) peran pemerintah harus mengangtifkan
kembali produksi mani beku kerbau di balai-balai inseminasi buatan. Dengan
inseminasi buatan juga dapat mencegah terjadinya kawin silang dalam.
9. Peningkatan
pendidikan inseminator. Inseminator buatan pada ternak bukan pekerjaan mudah
untuk itu diperlukan pengetahuan dan keterampilan, lebih-lebih pada kerbau yang
saat berahinya sulit diamati. Meskipun demikian kita bila kita mau kita bisa.
Pengalaman telah menunjukkan bahwa beberapa tahun yang lalu pada sapi potong,
yang pada saat itu sulit melakukan inseminasi buatan pada sapi potong karena
sapi potong terutama sapi lokal juga
memperlihatkan berahi tenang. Pada saat ini meningkatnya pengetahuan dan
keterampilan para inseminator inseminasi buatan pada sapi potong sudah bisa
dilakukan dengan prestasi yang baik.
10. Lokasi
peternak kerbau yang umumnya masih berjauhan, akan menyulitkan pelaksanaan
inseminasi buatan. Seorang inseminator mungkin saja melayani peternak yang
jaraknya dari pos bisa belasan kilometer. Dalam rangka mempercepat peningkatan
populasi maka program sinkronisasi birahi waktu pelaksanaan dan jumlah yang akan
diinseminasi bisa diatur dan fasilitas inseminasi bisa lebih efisien.
Penggunaan teknik sinkronisasi birahi akan mampu meningkatkan efisiensi
produksi dan reproduksi kelompok ternak, disamping juga mengoptimalisasi
pelaksanaan inseminasi butan dan meningkatkan fertilitas
11. Untuk
meningkatkan mutu genetic kerbau di suatu wilayah, bisa dilakukan dengan
membeli pejantan unggul hasil seleksi dari wilayah lain atau menggunakan
pejantan IB persilang dengan tipe perah juga bisa dilakukan dengan harapan
keturunanya bisa menghasilkan susu yang lebih banyak, minimal bisa memberi susu
keturunanya dalam jumlah yang mencukupi.
III PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa :
1.
Masalah
pengembangan peningkatan populasi kerbau di Sulawesi Tenggara yaitu di sebabkan
oleh beberapa factor antara lain factor internal yang merupakan factor dari
ternak itu sendiri yang meliputi Masak lambat, Lama bunting, Berahi tenang, Waktu berahi, Jarak beranak yang panjang, Beranak pertama, dan faktur eksternal yang meliputi pakan, manajemen
pemelihararaan, sosial budaya.
2.
Upaya-upaya
yang dapat dilakukan untuk meningkatkan populasi kerbau di Indonesia yaitu
dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti membentuk village breeding system,
Komitmen
yang berkelanjutan, Pembentukan
upaya recording ternak,
penerapan teknologi khusunya , kelompok ternak, Melakukan seleksi, Peternak yang memiliki kerbau yang
baik dan memenuhi standar bibit perlu mendapat penghargaan, Mengembangkan program inseminasi
buatan pada daerah-daerah yang padat populasi kerbaunya, Peningkatan pendidikan inseminator, Penggunaan teknik sinkronisasi
birahi,dan
persilangan.
DAFTAR PUSTAKA
Gunawan, dkk. 2010. Kebijakan Pengembangan Pembibitan Kerbau Mendukung swasembada Daging
Sapi/Kerbau. Seminar Lokakarya
Nasional Kerbau 2010. Pustlitbang Peternakan, Bogor.
Keman, S. 2006. Reproduksi
ternak kerbau. Menyongsong rencana
kecukupan daging tahun 2010. Pros. Orasi dan sSeminar Pelepasan dosen purna
tugas 2006. Fakultas peterenakan. UGM. Yogyakarta.
Toilehere, MR. 2001./ Potensi dan pengembangan kerbau di Indonesia. Suatu tinjauan
reproduksi. Workshop kebijakan ketahanan pangan kerbau sebagai sumber
keanekaragaman protein hewani. Kerjasama pustlitbang peternakan dan dinas
pertanian peternakan provinsi Bnnaten, Cilegon.
Tillman, dkk. 1982.
Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadja Mada University oress, Fakultas
Peternakan,. UGM. Jogjakarta
Zulkarnaen A. , dkk, 2010,
Ciri Dan Karakteristik Kerbau , http://bereati.blogspot.com/